Selasa, 05 Agustus 2014

Purnama Rasa Medan dan Kehangatan Bandung

Selama delapan dekade, warung kopi ini menyajikan kopi serta roti berselai srikaya yang bercita rasa sama.
Begitu pula teknik mengolah kopi, roti, dan selai yang dipertahankan hingga empat generasi.
PARA pekerja dan juru masak masih bersiap-siap di dapur. Namun, pelanggan perdana telah membuka pintu kedai kopi. Ia lalu duduk di meja nomor satu, tempat favoritnya.

Hari, nama laki-laki itu, merupakan salah satu pelanggan setia Warung Kopi Purnama.
Nyaris setiap pagi ia menggowes sepeda jauhjauh dari rumahnya di Arcamanik, kawasan Bandung Timur, demi sarapan dan ngopi di warung kopi bergaya pecinan di Jalan Alkateri No 22, di pusat Kota Bandung.

Warung Kopi Purnama yang didirikan pada 1930 memang memiliki magnet buat pelanggannya untuk selalu datang kembali.
Hal itu diakui Andi, 50, Yosef, 67, dan Wansen, 57, yang kemudian memeriahkan kedai itu di salah satu meja. Persahabatan mereka terjalin berkat kegemaran bolak-balik ke warung kopi tersebut. “Ini tempat lepas kangen. Jalan pendek cerita panjang, segala topik ada,“ kata Andi yang mengaku nyaris tiap hari dia datang kecuali saat libur.

“Biasanya kalau sudah dua atau tiga kali datang, kami enggak ragu nyapa ngajak ngobrol,“ cetus Yosef kepada Media Indonesia (22/5). Mayoritas pelanggan Pur nama datang ke sana karena awalnya diajak orangtuanya saat masih kanakkanak. Kebanyakan dari mereka juga adalah para pemilik toko kain di Pasar Baru, pusat belanja yang memang letaknya tidak jauh. Aldi Rinaldi Yonas, generasi keempat pemi lik Warung Kopi Purnama menjelaskan dulu warung itu berukuran kecil sehingga antrean bisa memanjang ke luar.

“Sebagian (pembeli) terpaksa pulang tanpa ngopi karena kelamaan menunggu tidak da pat tempat duduk,“ kisah Aldi yang dahulu tinggal di warung itu. Dari semula hanya bisa menampung 30 orang, kini kapasitas Purnama bisa sampai 100 orang. Bila sedang ramai, lagu-lagu Tiongkok atau lawas yang senantiasa diputar tak akan terdengar.

Selai srikaya ala Medan Suasana akrab itu kemudian berpadu dengan tampilan warung yang membawa kenangan ke masa lalu. Di deretan menunya, cita rasa autentik juga terjaga betul.

Sajian di Purnama lebih banyak didominasi kudapan ringan teman kopi sehingga warung paling ramai di pagi hari.

Roti srikaya merupakan favorit. Penam pilannya sederhana, tetapi paduan roti dan selainya lumer dan meleleh harmonis di lidah. Selai srikaya itu, kata Aldi, dibuat sendiri menggunakan resep rahasia, tanpa bahan pengawet, dibuat tiga hari sekali. Pengunjung juga bisa membelinya dalam kemasan botolan.

Semua proses pembuatan selai dilakukan di rumah oleh anggota keluarga. Demikian pula roti berteks tur lembut. Reza Josonna, sepupu Aldi yang juga terjun ke bisnis keluarga itu, membuatnya setiap pagi di rumahnya. Lalu tentu saja kopi yang menjadi keunggulan utamanya. Lagi-lagi formulanya rahasia.

Para pekerja hanya memasukkan racikan kopi yang sudah disiapkan pemiliknya. “Biasanya kita berikan ke staf itu untuk operasional masak dan gram-gramnya itu kita yang atur. Mereka tinggal terima dan olah, kita keep secret,“ kata Aldi.

Satu porsi roti selai srikaya Rp13 ribu saja, secangkir kopi hitam Rp12 ribu, sedangkan kopi susu Rp14 ribu. Harga makanan paling mahal di sini Rp40 ribu saja.

Konsistensi menjaga mutu itu terasa betul ketika saya menyesap secangkir kopi hitam Purnama. Lembut tapi dengan identitas rasa dan aroma yang berbeda.

Menolak membuka rahasia, Aldi hanya mengatakan mereka hanya menggunakan kopi asal Medan. Dari Medan pula, resepresep makanan di sini bermuasal, termasuk sajian roti srikaya.

Aldi berkisah, buyutnya, Yong A Thong, berjualan keramik di lokasi Purnama sekarang. Sebelumnya, A Thong sempat tinggal di Medan sehingga memahami kultur warung kopi di sana. Cita rasa ala kedai di Medan itu pula yang dipraktikkannya saat ia akhirnya berganti haluan ke bisnis warung kopi. Tak boleh berubah Kini, ditambahkan pula nasi goreng Purnama, ga do-gado, soto, hingga sup buntut. Rasa nasi goreng Purnama yang tak ubahnya nasi goreng terasi rumahan justru menjadi istimewa.

Kini, kendati masih menjadi wahana pertemuan para bos toko toko di Pasar Baru, Purnama juga telah menjadi salah satu destinasi wisata kuliner di Bandung. Tiap Senin sampai Sabtu, Purnama buka pukul 06.30-18.00, sedangkan Minggu atau hari libur pukul 06.30-15.00.

“Ayah bilang, ini Warung Kopi Purnama sudah kita perjuangkan dari tahun ke tahun, tolong kalian jaga kelestariannya. Kalau kalian mau kembangkan, atmosfernya jangan berubah,“ ujar Reza mengutip pesan sang ayah.

Soal nama Purnama, di daftar menu, tertulis kisahnya. Saat pertama didirikan, warung kopi itu bernama Chang Chong Se, artinya selamat mencoba.

Nama itu kemudian berganti menjadi Warung Kopi Purnama setelah pemerintah mewajibkan penggunaan nama Indonesia untuk menggantikan istilah-istilah dan nama yang berbau Tiongkok pascapemberontakan komunis pada 1965.

Kini setelah 84 tahun, Purnama menyapa Chang Chong Se pada pelanggan yang setia menyambanginya berdekade, atau bagi pelancong yang ingin menikmati Bandung dari wajah yang lain. (Her/M-3) Media Indonesia, 27 Juli 2014, Halaman 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar